Menurut laporan terbaru dari Bank Dunia, Indonesia masuk dalam 10
negara teratas dengan ekonomi terbesar di dunia. Indonesia turut andil
dalam 2,3% dari pengeluaran ekonomi global.
Laporan ini dirilis oleh International Comparison Program (ICP) 2011,
di mana laporan ini menilai ekonomi berdasarkan Purchase Power Parity
(PPP), laporan ini juga menunjukkan bahwa Indonesia naik enam peringkat
dengan mengungguli Negara-negara yang lebih berkembang seperti Spanyol,
Korea Selatan dan Kanada.
ICP berhasil mengumpulkan lebih dari 7 juta harga dari 199 ekonomi di
delapan wilayah, dengan bantuan dari 15 partner regional dan
internasional.
Sembilan Negara teratas lainnya diduduki oleh Amerika Serikat, China,
India, Jepang, Jerman, Russia, Brazil, Perancis dan Inggris.
Pendapatan ekonomi menengah seperti Indonesia, China, India, Russia,
Brazil dan Mexico sekarang mencatat kontribusi sebesar 32,3 persen dari
seluruh produk domestik di dunia. Hal ini dibandingkan dengan kontribusi
sebesar 32.9 persen dari enam Negara dengan pendapatan ekonomi yang
terbesar seperti, Amerika, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris dan Italia.
Dalam laporan juga menunjukkan bahwa Amerika akan kehilangan statusnya
sebagai negara ekonomi terbesar dunia karena kemungkinan China akan
mendapatkan tempat itu di akhir tahun ini, lebih cepat dari yang
diperkirakan.
Amerika Serikat telah menjadi negara ekonomi terbesar di dunia semenjak mereka melampaui Inggris di tahun 1872.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah
memprediksikan bahwa China akan menggantikan posisi Amerika Serikat pada
tahun 2016, sedangkan China sendiri berharap berada di posisi pertama
pada tahun 2019. Menurut laporan ini, total GDP China hampir sama dengan
87 persen dari total GDP Amerika Serikat di tahun 2011, sementara itu
India sudah naik dari posisi kesepuluh pada tahun 2005 menjadi negara
dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia, mengalahkan Jepang.
Akan tetapi, ada yang bilang PPP hanyalah salah satu cara untuk
mengukur dan menilai kinerja ekonomi dunia dan untuk negara berkembang
seperti India dan China, mereka masih harus banyak berbenah untuk
meningkatkan perekonomian negara mereka sendiri.
”Sebagai contohnya, ketika kita mengukur kemampuan pembelian secara
internasional dalam dollar, yang sangat penting dalam perdagangan
internasional, negara-negara seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang
akan terus mendominasi ekonomi dunia,” ungkap Frederic Neumann, wakil
Kepala Asia Economic Research di HSBC Hong Kong, sebagaimana yang
dilaporkan oleh International Business Time, yang mengutip dari CNBC.
Presiden Susilo Bambang Yudhono merespon hal ini dengan cepat. “Pagi
ini saya mendapatkan laporan dimana Indonesia sudah menjadi negara
dengan ekonomi kesepuluh terbesar di dunia. Puji Tuhan, ini hasil dari
usaha dan kerja keras kita.” Beliau berkata lewat akun Twitternya.
Beliau berkata bahwa bangsa ini harus terus bekerja untuk mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi.
“Ini tentunya adalah permulaan yang baik. Tetapi jalan kita masih
panjang dan juga kita menghadapi banyak tantangan. Namun, dengan izin
Tuhan, kita bisa mengatasi tantangan-tantangan itu,” beliau berkata di
sebuah acara di Jakarta.
Menteri Keuangan Chatib Basri berkata pencapaian ini adalah berkat
kebijakan ekonomi pemerintah. “Ini berarti ekonomi Indonesia sudah di
jalur yang benar dan kita sudah menjalani proses yang signifikan karena
beberapa tahun yang lalu kita berada di posisi yang keenam belas.”
jellas Chatib.
Tetapi banyak laporan lain menunjukkan bahwa kita seharusnya memuji
bangkitnya ekonomi negara Indonesia, tetapi sebenarnya Indonesia
mengalami pertumbuhan yang tidak seimbang, dengan gap yang besar antara orang yang kaya dan yang miskin.
Dikutip dari laporan yang akan datang dari Bank Dunia, Economist
memberitahukan bahwa konsumsi nyata yang tumbuh itu sekitar 4 persen
setiap tahun yang dirata-ratakan dari tahun 2003 sampai tahun 2010. Tapi
untuk 40 persen keluarga yang paling miskin, hanya bertumbuh sekitar
1,3 persen. Ini menunjukkan perbandingan yang mencolok jika kita melihat
pertumbuhan konsumsi dari 20 persen keluarga yang kaya sekitar 5,9
persen.
Berdasarkan data ini, majalah ini menyimpulkan bahwa orang yang kaya
menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin.
Ketidakmerataan yang bertumbuh antara kelompok berpendapatan rendah
dan kelompok berpendapatan tinggi juga sudah ditunjukkan dengan
memburuknya sebagai koefisien Gini Negara – yang termasuk pencairan
pendapatan – dari 0.29 pada tahun 2000 menjadi 0.38 di tahun 2011, turun
hampir sepertiga.
The Economist juga menunjukkan fakta bahwa sektor informal
berkontribusi sebesar 70 persen kepada GDP Negara, berarti ini
menunjukkan mayoritas luas tenaga kerja Indonesia tidak mempunyai
jaminan gaji minimal dan perlindungan dari pemerintah.
Orang-orang terpaksa bekerja secara informal dikarenakan manufacturing di
Indonesia dibatasi oleh insfrastruktur yang sudah tua, undang-undang
pekerja yang lemah dan kebijakan perlindungan yang menyulitkan pabrik
menjadi bersaing, menurut majalah The Economist.
Indonesia sudah meningkatkan pengeluaran sosialnya, majalah ini
melaporkan, ditambah pula pemerintah sudah mempunyai rencana berani
untuk memperkenalkan rencana perawatan kesehatan secara universal pada
tahun 2019.
Akan tetapi, pengeluaran pemerintah masih berpihak kepada yang kaya,
dengan 20 persen anggaran pemerintah, atau 282 triliun rupiah ($24.5
billion) pada tahun ini, diarahkan kepada subsidi energi. Bensin yang
murah menguntungkan orang yang kaya, yang juga menjadi konsumen
terbesarnya.
Sumber: thejakartaglobe.com
No comments:
Post a Comment